Sabtu, 28 Januari 2012

SIGNIFIKANSI UNGKAPAN SYUKUR HAMBA TUHAN

Ungkapan syukur kepada Allah dengan kesetiaan yang Ia berikan kepada jemaat terhadap gereja, sehingga mereka tetap datang ke kebaktian yang diadakan gereja dan persekutuan-persekutuan gereja lainnya.

Pada dasarnya jemaat tahu apa yang sedang terjadi di dalam lembaga gereja, baik itu masalah antara gembala jemaat dengan majelis, masalah antara gembala dengan keluarganya, atau bahkan gembala jemaat dengan jemaat  (mungkin). Walaupun ada jemaat yang meninggalkan gereja, tetapi tetap saja ada jemaat yang mau datang ke gereja, atau persekutuan-persekutuan yang ada. Semuanya ini bukan sesuatu yang mungkin terjadi jika Allah tidak campur tangan di dalam gereja tersebut (meskipun kita semua tahu bahwa gereja-gereja yang ada di dunia adalah gerejaNYA), namun tetap saja, kita tetap harus bersyukur dengan hal ini. 


Salah satu ungkapan syukur yang kongkrit ialah dengan senantiasa memberikan apa yang sudah menjadi kebutuhan mereka, baik kebutuhan rohani, maupun kebutuhan moral.  Dalam kebutuhan rohani, sudah menjadi suatu kewajiban bagi gambala jemaat untuk memberikan berkat Firman Tuhan, tetapi di dalam memberikan berkat moral, gembala bukan hanya memberikan dorongan secara personal terhadap masalah jemaat, tetapi juga dengan memberikan suatu teladan yag baik di dalam menyelesaikan masalah, dengan demikian maka kebuutuhan moral ini mengacu pada teladan gembala jemaat.

Jumat, 27 Januari 2012



KEBAJIKAN MORAL
BAB 1 PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan bermasyarakat, segala sesuatu tidak ada yang bebas dari penilaian. Segala hal yang dilakukan seseorang akan mendapat penilaian dari orang lain, demikian juga dengan orang itu, akan dinilai oleh orang lain lagi, dan seterusnya, sehingga membenarkan satu teori dimana segala sesuatu tidak bebas nilai . Tetapi yang menjadi masalah berikutnya ialah, apakah perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk? Apakah hal yang dilakukannya itu merupakan hal yang benar atau hal yang salah? Sehingga dapat diketahui bahwa orang tersebut termasuk orang yang baik, yang senantiasa berbuat hal yang baik, sehingga dapat dipercaya oleh orang lain di lingkungan sekitarnya. Pertanyaan berikutnya yang muncul ialah, pendekatan moral/ etika apakah yang dapat ditemukan dalam kehidupan keseharian di dalam teori filsafat moral/ etika? Sehingga dapat menjadi patokan bahwa nilai moral yang dilakukan merupakan hal yang baik dan benar.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di ataslah penulis akan mencoba untuk memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan teori keutamaan , dan penulis akan mencoba mengkritisi teori ini sehingga dapat menjadi satu hal yang dapat berguna dalam pelayanan sebagai hamba Tuhan ataupun yang melayani di gereja maupun bagi orang-orang percaya dalam aspek-aspek kehidupannya yang lain.

BAB 2 VIRTUS
A. Sejarah singkat
Honor et Virtus post Mortem Floret
Setelah mengalami pasang surut, pada akhirnya teori ini muncul kembali sebagai suatu kebutuhan dari masyarakat dalam kehidupan masa kini. Dimana timbulnya rasa perlu untuk kembali menghidupkan kembali apa yang pernah menjadi tolak ukur manusia dalam melakukan perbuatan baik. Adapun sejarah singkat dari Teori Virtus itu ialah sebagai berikut; Teori ini diteriakan untuk pertama kalinya oleh Aristoteles, dimana adanya suatu kerinduan dalam dirinya untuk mencari jawaban dari pertanyaan, “apakah kebaikan manusia itu?” dan didapati sebuah jawaban yang mengatakan bahwa “kebaikan manusia merupakan aktifitas jiwa dalam hubungannya dengan keutamaan atau virtus”, atau dengan kata lain, “mau menjadi orang yang seperti apakan saya?”, yang kemudian menjadi acuan dari pemikiran Sokrates, Plato, dan juga pemikir-pemikir kuno yang lainnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pertanyaan mengenai teori virtus ini menjadi berkurang, hal ini dipengaruhi adanya satu pemikiran Kristianisme yang mengatakan bahwa, “kebaikan moral bergantung pada subordinasi kehendak Allah, dan bukan lagi teori virtus”. Demikian terus menjadi pola pikir masyarakat waktu itu, sampai pada zaman Renaissance, dan memasuki pertengahan abad ke-20, muncul satu pemikiran bahwa teori keutamaan/virtus masih tetap relevan dalam zaman yang baru tersebut, hal ini dipengaruhi oleh pemikiran dari filsuf Inggris, Elizabeth Anscombe.

Pemikiran ini menjadi penggugah bagi pemikir-pemikir baru, yang sependapat, bahwa teori virtus masih dapat dipakai di zaman ini. Dari konsep berpikir yang dipertanyakan di atas, bahwa mau menjadi orang seperti apakah saya?, menjadi sebuah pola pemikiran, bahwa bukan apa yang dilakukan atau tindakan apa yang dilakukan, tetapi lebih dari itu, yaitu lebih mengacu pada nilai dari kepribadian seseorang. Dimana nilai itu nyata dalam tindakannya, sehingga tindakan yang dilakukan merupakan suatu tindakan yang kontinyu, dan tidak temporary, atau pada saat-saat tertentu saja.

B. Persyaratan Virtus
Tetapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mewujudnyatakan teori ini. Syarat-syarat itu ialah:
• Adanya penjelasan mengenai definisi dari teori virtus,
• Adanya daftar tentang perbutan-perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang baik,
• Penjelasan mengenai perbuatan-perbuatan itu mengapa dapat dikategorikan sebagai perbuatan baik, • Adanya penjelasan mengapa seseorang harus memilikinya.

Dengan demikian untuk dapat melanjutkan pembahasan mengenai teori virtus, maka pertama-tama akan mendeskripsikan tentang definisi teori virtus. Seperti yang telah ditulis di atas, bahwa Aristoteleslah yang pertama kali menggemborkan teori ini, dimana ia mendefinisikannya sebagai “karakter yang nampak dalam tindakan keseharian”. Telah diketahui bahwa penekanan utama dari teori ini bukanlah lagi mengenai “apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan?”. Seperti yang dikemukakan dalam teori Utilitarianisme , atau teori-teori yang sejenisnya, tetapi teori virtus ini lebih mengacu pada pertanyaan, “mau menjadi orang yang bagaimanakah saya?” .

Bertens dalam bukunya Etika, juga mendukung pernyataan ini, bahkan lebih lagi dia mengatakan bahwa penekanan teori virtus memfokuskan pada being, dan bukan pada doing dengan demikian, teori virtus ini mengacu pada kualitas karakter personalnya dan bukan lagi pada “etika apa yang harus saya pakai?”. Berikut ini ialah beberapa kriteria yang disampaikan dalam virtus Romawi :
• Auctoritas/ kewibawaan
• Constantia/ keteguhan
• Clementia/ kelemahlembutan
• Dignitas /martabat
• Disciplina/ disiplin
• Firmitas/ ketabahan
• Frugalitas/ kecermatan
• Gravitas/ tanggungjawab
• Honestas/ kebaikan, kejujuran
• Humanitas/ kemanusiaan
• Industria/ pekerja keras
• Lustitia/ keadilan
• Pietas/ kesalehan
• Prudential/ kebijaksanaan
• Salubritas/ mempengaruhi
• Severitas/ bersahaja
• Veritas/ kebenaran
• Virtus/ berbudi luhur
• Comitas/ selera humor

Hal-hal yang telah disebut diatas bagi penulis merupakan satu kriteria yang dapat dijadikan sebagai kebaikan untuk memenuhi syarat teori virtus di atas, karena diketahui bahwa kebudayaan Romawi merupakan kebudayaan yang menarik karena sangat mengutamakan otoritas atau kewibawaannya, dengan wibawa yang dinampakkan dalam diri seorang kaisar atau juga petinggi kekaisaran. Selain itu juga adanya peninggian atau penghormatan terhadap kaisar sebagai dewa, dari hal ini dapat disimpulkan bahwa petinggi-petinggi kaisar tersebut mempunyai satu nilai yang sangat dijunjung tinggi dan kehormatan tersbut merupakan suatu hal yang sudah seharusnya disegani oleh orang banyak. Hal yang demikian juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi seorang hamba Tuhan saat ini. Sebab hamba Tuhan saat ini sedang diperhadapkan pada suau situasi yang membutuhkan kewibawaan, sikap tegas yang mulai menipis, yang harus segera diganti dengan kewibawaan seperti yang digambarkan di atas. Sedangkan alasan mengapa semua orang hendaknya dapat memiliki semua hal tersebut ialah bahwa semua manusia merupakan hamba Tuhan dalam segala kehidupan yang mereka jalani, entah mereka sadar atau tidak, mereka merupakan hamba Tuhan. Dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukannya untuk Allah, hal apapun itu. Dengan demikian dari penjelasan di atas telah menjawab pertanyaan ke-3, dan ke-4 yang menjadi syarat-syarat yang harus dipenuhi menjadi satu teori virtus yang utuh.

BAB 3 TINJAUAN KRITIS
A. Kritik Practical Wisdom
Virtus Antiqua
Dari syarat-syarat yang dipenuhi di atas merupakan satu syarat yang harus dipenuhi dalam teori ini, tetapi hal itu masih dirasa belum cukup untuk menghadapi kehidupan yang sangat kompleks di dunia ini, dengan demikian maka setiap orang dapat melakukan tindakannya dengan penuh kebijakan praktis (practical wisdom). Ada beberapa keberatan mengenai teori virtus ini, yang pertama, dengan menyadari bahwa seiring dengan perkembangan zaman, dimana manusia tidak lagi atau katakanlah tidak semua manusia dapat memakai rasionya dalam melakukan tindakannya, tetapi ada juga manusia yang memakai perasaan atau juga emosinya, maka teori virtus ini tidak dapat dilakukan secara maksimal. Keberatan yang kedua, yaitu dengan mempertimbangkan tempat, bahwa teori virtus ini tidak dapat dilakukan begitu saja atau “pukul rata” tetapi dipengaruhi oleh tempat dimana orang itu melakukan kebaikan. Sebab tempat satu dengan tempat yang lain mempunyai budaya atau aturan moralnya sendiri .

Mungkin untuk beberapa tempat dapat berlaku tetapi ditempat ain, belum tentu. Perbedaan tempat akan mempengaruhi bagaimana orang itu bertindak, sehingga teori ini tidak berlaku di semua tempat. Keberatan yang ketiga, yaitu dengan masalah value, atau nilai bahwa kebaikan semata akan membawa orang itu pada satu citra diri yang buruk karena malakukan sesuatu hal bukan pada tempatnya, sehingga akan menjatuhkan nilai diri dalam masyarakat. Dimana ia akan dipandang rendah oleh orang lain, sehingga bukan lagi wibawa yang dimunculkan tetapi sebaiknya.

B. Eudaemonia dan Phronesis Selain itu dari keberatan-keberatan di atas, orang yang melakukan teori ini juga akan menjadi truism, karena tindakan yang dilakukannya adalah suatu tindakan yang terlalu baik secara moral, terpuji, dan dikagumi oleh banyak orang,dan ada kalanya, tindakan yang dilakukan tersebut bernilai ganda, yaitu baik dan sekaligus salah. Hal ini disebabkan oleh mindset yang belum kompleks, dimana harus adanya suatu sangkaian pertimbangan yang yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan tersebut, serangkaian pertimbangan itu merupakan penggabungkan antara beberapa teori-teori etika/ moral lainnya. Misalnya :
a. Phronesis, suatu kesadaran akan kesusilaan,
b. Techne, pertimbangan terhadap seni,
c. Episteme, pertimbangan dengan menggunakan ilmu pengetahuan,
d. Nus, pertimbangan dengan pengertian asas,
e. Sophia, pertimbangan tentang kearifan,
f. Eudaimonia , tindakan yang dilandasi oleh keinginan untuk mencapai kebahagiaan.

Dengan demikian, maka penggabungan ketujuh hal di atas yang dilakukan secara bersama akan menjadikan tindakan itu bukan hanya sekedar tindakan yang “tanpa makna”, tetapi lebih pada suatu tindakan yang didasari dengan pertimbangan yang matang yang lahir dari kepribadian seseorang, bukan tindakan yang asal-asalan karena prinsip-prinsip di atas tidak dilakukan secara terpisah, melainkan secara bersamaan (integral).

Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Mudhofir, bahwa mengintegralkan antara akal, kehendak dan rasa, akan membuat si pelaku tindakan merasa senang, karena akal memberikan norma terhadap perbuatan yang tepat, dan dengan kehendak, dapat menetapkan pikiran yang baik dan dengan rasa dapat menyesuaikan antara akal dan kehendak. Pemikiran Mudhofir ini merupakan penambahan yang dapat dilakukan atau menjadi bahan pertimbangan yang lain.

BAB 4 KESIMPULAN
Untuk melakukan perbuatan yang baik bukanlah suatu tindakan yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan, tetapi ada banyak hal yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan tindakannya tersebut, sehingga tindakan yang dilakukan tersebut tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga merupakan tindakan yang benar, sebab sesuatu yang baik belum tentu benar, tetapi sesuatu yang benar pasti merupakan tindakan yang baik.

Adapun pengintegralan konsep-konsep berpikirnya bukanlah datang dengan tiba-tiba atau merupakan warisan dari orang tua, tetapi lebih pada proses pembelajaran yang terus menerus, tanpa lelah, yang juga tidak dipelajari seorang diri, tetapi pembelajaran yang membutuhkan pendamping atau pembimbing, yang senantiasa mengoreksi dan memerikan arahan yang jelas, sehingga membentuk suatu kepribadian yang benar-benar matang.

Dengan demikian pembentukan yang dilakukan bukanlah dalam waktu yang singkat, tetapi sangat membutuhkan waktu yang panjang. Yang pada akhirnya tindakan tersebut bukanlah tindakan “luar” seseorang, tetapi merupakan tindakan yang murni datang dari dalam jiwanya, sehingga orang tersebut benar-benar mempunyai kepribadian yang utuh, antara jiwa dan tindakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Cohen, Christiady “Diktat Etika Kristen dan Filsafat Moral”, (Bandung: STTB, 2011).
Cohen, Christiady. “Diktat Pengantar Filsafat”, (Bandung:STTB, 2010).
Frankena, William K. Ethics -Second Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc, 1973).
Rachels, James. Filsafat Moral, (Jogja: Kanisius, 2009).
Robinson, Dave & Chris Garrant, Introducing Ethics, (Victoria: McPherson’s Printing Group, 1996). Tulluan, Olla. Ph.D, Introduksi Perjanjian Baru, (Malang:YPPII, 1999).

Minggu, 22 Januari 2012

KONSEP LOGOS MENURUT INJIL YOHANES
Add caption

BAB 1 PENDAHULUAN
    Ada banyak orang Kristen yang telah sering mendengar firman Tuhan, baik dalam kebaktian biasa, melalui televisi, radio, ataupun juga melalui media elektronik lainnya. Kenyataan ini membawa pada suatu kecenderungan yang positif dan juga negatif. Kecenderungan positif merupakan sesuatu yang menjadi sasaran dalam setiap pemberitaan firman. Tetapi kecenderungan negatif itulah yang harus segera ditindak lanjuti. Dimana kecenderungan negatif itu ialah mengenal atau bahkan hafal setiap ayat dalam Alkitab, tanpa harus membukanya. Kecenderungannya yang paling ekstrem dari hal di atas ialah banyaknya ayat yang telah dihafal tetapi tidak tahu apa yang dimaksudkan dari penulis kitab itu sendiri. Sehingga kerohanian mereka semakin menurun, sebab banyak yang diketahui tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ada kemungkinan juga mengenai satu ayat dalam Injil Yohanes, yang dituliskan:
“Pada mulanya adalah firman; firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah.” Yohanes 1:1

    Setiap orang Kristen pastinya mengenal ayat ini, yang merupakan prolog atau pendahuluan dari Injil Yohanes. Tetapi ayat ini juga mengandung kata-kata yang sulit untuk dipahami dan tidak dapat dimengerti begitu saja apabila dibaca sekedarnya saja. Sebab ada satu istilah yang pernah didengar tetapi telah lupa, yaitu mengenai “Konsep Logos”. Pertanyaan ini menantang untuk segera mengetahui apa yang dimaksud dengan “Logos”? siapa yang memunculkan konsep ini untuk pertama kalinya? Mengapa Yohanes memakai istilah ini? Apa maksud dan tujuan yang ingin dicapainya? Dan apa maknanya bagi kehidupa gereja di masa kini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan mencoba memaparkan dalam bentuk paper, dengan terlebih dahulu akan membahas mengenai sejarah pemikiran yang pernah ada dan masih marak ditemui pada zaman Yohanes, kemudian penulis akan meneruskannya tentang beberapa hal positif mengenai konsep logos ini, terutama mengenai Kristologi, sehingga Yohanes meggunakan istilah ini dalam prolognya.

BAB 2 LOGOS
    Untuk menjawab pertanyaan pertama, apa yang dimaksud dengan Logos? Penulis akan terlebih dahulu memaparkan mengenai latar belakang pemikiran-pemikiran dari pernah ada sebelum Yohanes lahir, yaitu dari para filsuf. Sebab pemikir-pemikir tersebut merupakan kunci untuk lebih mengerti, mengapa Yohanes memakai konsep logos dalam injilnya. Selain itu juga mengenai pemikiran orang Yahudi mengenai Logos, dimana konsep ini tidaklah secara eksplisit ditemukan dari orang-orang yang menuliskan pemikirannya seperti para filsuf, tetapi ditemukan secara implisit dari apa yang telah ditulis oleh Musa dalam Kitab Kejadian. Sebab bukanlah hal yang kebetulan jika Yohanes memakai pendahuluan yang sama seperti yang dilakukan oleh Musa, “pada mulanya…” .
A.    Pemikiran-pemikiran Yunani
a.    Heraklitus, ia berpendapat bahwa Logos merupakan suatu hukum yang menguasai segala sesuatu , hal ini nampak dalam poin-poin yang disebutnya mengenai logos ;
•    Logos ialah suatu sebab imanen dari pola atau identitas yang jelas dalam  perubahan-perubahan kausal segala sesuatu.
•    Alasan pokok bagi eksistensi segala sesuatu.
•    Keniscayaan, hukum, nasib atau takdir kosmis.
•    Sesuatu yang tetap dalam situasi yang berubah-ubah.
b.    Stoa
•    Prinsip pokok yang menghasilkan aktifitas dalam alam semesta.
•    Prinsip aktif intelegensi atau akal budi.
•    Pengatur segala sesuatu.
•    Sumber segala nilai moral.
c.    Plato
•    Pengantara Allah dan dunia  yang digunakan Allah dalam penciptaan dunia.

    Dalam bukunya “Theologi Yohanes”, David  Iman menuliskan bahwa, bagi filsuf-filsuf di atas, memang penggunaan istilah Logos hanyalah diartikan sebagai Philosophical Term saja, tetapi lain bagi orang-orang Yahudi atau pun juga dengan Yohanes, istilah tersebut menjadi lain, dan menjadi sarat dengan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, sehingga menjadi suatu Religious Term, yaitu mempunyai makna religius, suatu rasa yang mencerminkan kerinduan untuk beragama, bersekutu, dan mengagungkan dan memuliakan  Allah.
    Tetapi penulis meryakini bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang pada waktu itu, baik orang Yunani maupun orang Yahudi, tahu atau bahkan hafal dengan konsep yang dibangun oleh para filsuf tersebut, tetapi kemungkinan berikutnya ialah bahwa mereka merindukan hal yang sebenarnya dari logos itu, sehingga bukan hanya sebuah istilah tanpa makna tetapi lebih dari itu, mereka mencari seperti apa logos itu? Tetapi belum dapat menemukan jawabannya.

B.    Pemikiran Yahudi mengenai Logos
a.    Logos adalah “hikmat”, seperti yang dinyatakan dalam Amsal 8:22-31, bahwa hikmat telah ada bersama-sama dengan Allah sebelum segala sesuatunya ada, dapat juga dikatakan bahwa hikmat ini adalah Pencipta, dan mempunyai relasi yang intim dengan Allah.
b.    Logos adalah “kuasa”, yang dinyatakan dalam Mazmur 33, yang mengatakan bahwa dengan Firman, langit telah diciptakan, dengan demikian menandakan adanya kuasa yang dinyatakan.

Meskipun diantara konsep yang ada, yaitu pemikiran Yunani dan pemikiran Yahudi terdapat perbedaam, tetapi masih ada persamaan yang dapat diambil diantara kedua konsep tersebut ;
1.    Sebagai awal dari segala sesuatu,
2.    Mempunyai kekuatan yang sanggup mengatur alam semesta
3.    Merupakan pernyataan diri Allah.
    Dengan demikian istilah yang digunakan oleh orang Yunani dan orang Yahudi masih sangat abstrak untuk menjelaskan “Logos”. Karena masih mempunyai satu teka-teki yang belum dapat dipecahkan. Tetapi memang inilah yang unik dari kata “Logos”, F.F. Bruce pun mengakui bahwa bahasa Inggris pun hanya memakai “Word” untuk menerjemahkannya, sedangkan ini pun masih belum dapat mengartikan makna yang sesungguhnya dari logos .

BAB 3 INJIL YOHANES
    Pemikiran-pemikiran seperti di atas merupakan konsep berpikir orang-orang yang hidup sezaman dengan Yohanes. Tetapi konsep berpikir filsafat tersebut diubah oleh Yohanes menjadi sebuah konsep berpikir untuk lebih dapat mengenali siapa Kristus itu. Sehingga dengan demikian Injil dapat dipahami oleh banyak orang, terutama oleh orang-orang yang gemar untuk berpikir.

Adapun nilai-nilai yang dapat diambil dari Yohanes 1:1, ialah:
a.    Pada mulanya adalah firman…
Pada pendahuluan yang digunakan oleh Yohanes ini, sangat kental dengan nilai-nilai kekekalan, sedangkan jika dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran di atas disebutkan mengenai perantara, maka Yesuslah yang menjadi perantara antara Allah dengan manusia. Perantara dalam hal apa? Hal ini berhubungan dengan pengkomunikasian atau pengungkapan pernyataan Allah, dimana Allah berinisiatif agar manusia dapat mengenal, mendengar, sehingga Allah dapat dimengeti oleh manusia , sehingga setiap orang yang percaya kepadaNYA akan mendapat hidup kekal. Boice mengatakan bahwa “Jesus is the Logos who speaks the words of God” , sehingga jelaslah bahwa Yesus merupakan perantara, yang mengekspresikan apa yang menjadi kehendak atau keinginan Allah.
    Dan di atas juga telah disebutkan, bahwa Logos merupakan awal dari segala sesuatu, pernyataan ini mempunyai dua hal yang berbeda dalam satu kesatuan, Yesus merupakan satu alasan (reason) dibalik segala sesuatu dan juga merupakan satu pribadi yang telah menciptakan segala sesuatu tersebut.  Satu hal yang senantiasa mengatur, memelihara setiap hal yang telah diciptakanNYA, sehingga benar bahwa alasannya adalah agar semua orang dapat mengenalNYA, sebab Ialah yang berada di balik semua keagungan alam semesta. Dengan demikian, karena Ia adalah Yang Awal dari segala sesuatu, maka Ia tidak akan mengalami perubahan dalam keadaan yang terus berubah.
b.    firman itu bersama-sama dengan Allah
Frase ini mengindikasikan adanya Ketritunggalan Allah, dan Yesus, yang adalah Anak Allah, merupakan Pribadi kedua dari Tritunggal. Yang menjadi prinsip utama dari segala sesuatu yang diciptakan, dan mempunyai rencana dalam penyelamatan manusia.
c.    firman itu adalah Allah.
    Seperti yang telah dituliskan di atas, bahwa pada dasarnya mereka sedang merindukan satu sosok Logos, Logos yang hidup, Logos yang dapat dilihat, dan Logos yang dapat merasakan apa yang dirasakan oleh manusia. Sehingga inilah yang diketahui oleh Yohanes, dan ia tahu bahwa hanya Yesuslah yang dapat memenuhi bahkan melebihi dari apa yang dapat dikira oleh orang-orang pada zaman itu. Lebih jelasnya, Arthur Pink menuliskan, “Setiap kitab mempunyai satu keunikan yang lain dari pada kitab yang lain, demikian juga dengan Yohanes, ia sangat menonjolkan tentang keallahan Yesus. Dengan demikian istilah logos ini mengacu pada pribadi Yesus.”  
Namun pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, mengapa Logos yang hanya sebuah konsep berpikir, digambarkan menjadi pribadi Yesus? John Phillips menjelaskan dalam tafsirannya, bahwa dalam diri Yesus terdapat satu esensi. Esensi yang hanya dimiliki oleh Allah, karena Yesus juga adalah Allah sendiri, yang menjadi manusia . Dengan demikian dalam diri Yesus terdapat natur sebagai Allah yang sejati tetapi juga merupakan manusia yang sejati. Yang masih mempunyai esensi keallahan, dan juga mampu merasakan segala sesuatu yang dirasakan manusia, hanya saja Ia tidak mempunyai dosa. Dari sinilah muncul ide tentang Kristologi, dimana Allah yang adalah Firman itu menjadi manusia dalam diri Yesus, Firman yang hidup.

BAB 4 KESIMPULAN
    Dari apa yang telah dijabarkan di atas, penulis setuju dengan John Phillips yang merangkumkan tentang makna Logos dalam commentarynya, bahwa Logos itu adalah :
•    Yesus adalah Allah yang kekal (pada mulanya adalah Firman, 1:1a)
•    Yesus adalah Allah (Firman itu bersama-sama dengan Allah, 1:1b)
•    Yesus merupakan esensi Allah (Firman itu adalah Allah, 1:1c)
    Dengan demikian apa yang menjadi maksud penulis dengan Injil Yohanes menjadi nyata, bahwa ia menggunakan konsep Logos ini, suatu konsep yang sudah tidak asing di dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu dan juga masa kini, agar setiap pembaca atau juga pendengar dapat percaya bahwa Yesuslah Logos, sehingga setiap orang yang mempercayaiNYA akan beroleh hidup kekal (20:31).
    Dengan demikian implikasi praktis untuk masa kini ialah bahwa Yesus masih merupakan Logos, sebab Ia kekal, yang juga akan membawa pada hidup kekal. Hal ini menjadi suatu kunci dalam pekabaran Injil, dimana hidup kekal merupakan hal yang didamba-dambakan, dan Yesuslah jawabannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta:Gramedia, 2000.
Barclay, Ian. Discovering John’s Gospel. Leicester:Crossway Books, 1997.
Boice, James Montgomery. Witness and Revelation in Gospel of John. Grand Rapids: Zondervan,     1970.
Bruce, F.F.  The Gospel of John. Michigan: William B. Eerdman Publishing, 1994.
Mudhofir, Ali. Kamus Filsafat Barat. Jogja: Pustaka Pelajar, 2001.
Phillips, John. Exploring The Gospel of John –Expository Commentary. Grand Rapids: Kregel     Publication, 2001.
Pink, Arthur W.  Tafsiran Injil Yohanes. Surabaya: Yakin, 1945.
Santoso, David Iman. Theologi Yohanes. Malang: SAAT, 2005.

Sabtu, 21 Januari 2012

MEMAKNAI PROVIDENSI ALLAH DAN IMPLIKASINYA DALAM HIDUP KRISTEN


BAB 1 PENDAHULUAN
    Ada banyak orang yang telah mengenal kata providensia, dan juga telah mengetahui arti dari kata ini, yang dapat diketahui dari arti dalam bahasa Inggrisnya, yang berasal dari kata Provide, yang artinya menyediakan. Bahkan ada faham yang mempercayai bahwa providensia ini merupakan karya Allah terhadap dunia yang telah diciptakanNYA, tetapi setelah Ia menciptakan semuanya, Ia menjadi bagian dalam setiap hal dalam dunia ini, dan sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa Ia meninggalkan ciptaanNYA tersebut. Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat banyak hal yang menyimpang dari yang benar, dan terdapat ekstrem-ekstrem yang negatif dalam pengertian tentang Providensi Allah (mungkin juga pemahaman yang lainnya). Namun pertanyaan berikutnya ialah, apakah pengertian yang benar dari kata Providensia Allah ini? Apakah ada makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam kata ini terhadap karya Allah? Dan apa implikasi praktisnya dalam kehidupan orang percaya?
    Meyikapi pertanyaan di atas, penulis merasa terbeban untuk dapat memberikan jawaban yang benar, sehingga penulis akan mencoba untuk  menjabarkan pengertian yang benar tentang Providensi Allah dalam bentuk paper, dengan demikian diharapkan bahwa paper ini juga akan membuat semakin banyak orang, terkhusus penulis sendiri mengerti dan memahami tentang kebenaran tentang pandangan Iman Reform yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB 2 SIGNIFIKANSI DOKTRINAL
A.    Dasar Alkitabiah
Di dalam Alkitab memang tidak terdapat kata Providensi, tetapi Alkitab dengan jelas  mengajarkan Providensi Allah ini, seperti yang dapat dilihat dalam ayat-ayatnya berikut ini :
1)    Terhadap seluruh alam semesta: Mazmur 103:19, Daniel 5:35, Efesus 1:11
2)    Terhadap dunia fisik: Ayub 37:5, 10, Mazmur 104:14,  135:6, Matius 5:45
3)    Atas penciptaan binatang: Mazmur 104:21, 28, Matius 6:26
4)    Atas semua kegiatan bangsa-bangsa: Ayub 12:23, Mazmur 22:28
5)    Atas kelahiran dan hidup manusia, 1 Samuel 16:1, Mazmur 139:16
6)    Atas keberhasilan dan kegagalan manusia, Mazmur 75:6,7
7)    Atas hal-hal yang tampaknya kebetulan dan tidak penting, Amsal 16:33
8)    Perlindungan orang benar, Mazmur 4:8, 5:12
9)    Pemenuhan kebutuhan umat manusia, Kejadian 22:8, Ulangan 8:3
10)    Terhadap jawaban doa, 1 Samuel 1:19, Yesaya 20:5
11)    Menghukum kejahatan,  Mazmur 7:12, 11:6

B.    Etimologis
Kata Providensi berasal dari Bahasa Latin Providentia, yang mempunyai kesamaan dengan pronoia, yang berarti pengetahuan awal  hal ini sangat terkai dengan kemahatahuan Allah, atau atribut intelektual Allah . Sedangkan dalam kamus Oxford, menjelaskan bahwa Providence adalah the protective care of God or nature & timely care or preparation, foresight, thrift, protection, concern, beneficence, direction, control, divine intervention, guidance, forethought, anticipation .A.A Hodge menjelaskan, bahwa kata Providensi berasal dari pro dan video, yang berarti tinjauan ke masa depan, sehingga dapat mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk masa depan tersebut .

C.    Definisi
Menurut Grudem Providensi Allah ialah bahwa Allah secara terus menerus menyertai semua ciptaan, yaitu dengan 1) menjaga semua keberadaan dan memelihara semua yang telah diciptakanNYA, 2) bekerjasama dengan semua ciptaan dalam setiap hal yang dilakukan, dan juga mengarahkan mereka agar tetap berada dalam apa yang seharusnya mereka lakukan, 3) mengarahkan mereka agar tetap berada dalam tujuan Allah . Sedangkan Frame dengan mendeskripsikan Westminster Confession of Faith, Westminster Larger Cathechism, dan juga Westminster Shorter Cathechism, dimana ketiga pengakuan Westminster tersebut sangat menekankan Providensi dalam istilah yang dipakai, yaitu “semua hal” dan “seluruh dunia” , bahwa Allah mempunyai kuasa untuk mengatur setiap hal yang telah diciptakanNYA. Tetapi satu hal yang dapat ditarik dari definisi Providensi Allah ini ialah bahwa Allah dalam pekerjaanNYA, Ia melanjutkannya dalam pemeliharaan semua ciptaanNYA, dan senantiasa mengarahkan kepada tujuan yang telah disetujuiNYA .

D.    Jenis-jenis Providensi
Ada dua macam pembagian dalam Providensi Allah, yaitu secara umum dan secara khusus. Pembagian ini berdasarkan pada pengkomunikasian maksud daj tujuan Allah dalam setiap aspeknya. Providensi umum Allah nyata sebagai anugerah umumNYA, dimana Allah dengan kasihNYA tidak hanya memberikan kepada umatNYA yang telah dipilihNYA, tetapi kepada setiap makhluk yang telah diciptakanNYA, hal ini bertujuan agar setiap orang tidak dpat berdalih terhadap apa yang telah Allah lakukan (Roma 1:20). Sedangkan Providensi khususNYA dinyatakan hanya kepada umat kesayanganNYA, Providensia khusus ini sering disebut sebagai mujizat. Dimana mujizat ini merupakan intervensi Allah dalam pekerjaanNYA diluar kebiasaan umum. Hal ini terjadi untuk memberikan suatu tanda, bahwa Allah berbelas kasihan pada umatNYA, dan terjadi hanya sesekali dan tidak secara terus menerus. Peristiwa terjadinya mujizat ini ialah agar umat tersebut tidak tergantung pada mujizat saja tetapi lebih pada Allah sebagai pembuat dari mujizat tersebut.

E.    Unsur-unsur Providensi Allah
Providensi Allah merupakan karya Allah yang penting sebagai kelanjutan dari karya penciptaanNYA, dimana Ia memberikan kasihNYA, yaitu dalam hal memberikan pemeliharaan. Yang mengandung nilai-nilai Preservation atau perlindungan, Government atau pemerintahan, dan Concurrence  atau kerjasama, ketiga nilai-nilai ini bukan berarti sebagai suatu pekerjaan yang terpisah satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan dalam kedaulatan Allah . Dalam menjelaskan Providensi Allah, Ericson hanya memberikan dua aspek dari providensi Allah, yaitu perlindungan (Preservation), dan pemerintahan (Government)  demikian juga dengan A.A.Hodge, sedangkan concurrence masuk dalam Pemerintahan Allah. Ada kemungkinan bahwa ia sangat menekankan faktor  keallahan (Godness), dan menganggap manusia hanyalah kausa kedua. 
a.    Preservation (Perlindungan)
Perlindungan Ilahi, merupakan satu hal yang membuktikan bahwa manusia ataupun juga ciptaan yang lainya, merupakan makhluk yang tidak dapat hidup mandiri, dan akan terus bergantung pada Allah, dan sebagai Allah yang Mahatahu, dan bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Ia tidak akan membiarkan semua ciptaanNYA terkatung-katung dalam dunia ini, hidup dalam ketidakpastian, dan hidup dalam pola-pola yang sudah diatur sedemikian rupa, sehingga membawa pada kehidupan yang tidak berguna, seperti yang diyakini oleh konsep Deisme . Sehingga Ia dalam kasihNYA, memberikan suatu jaminan hidup berupa perlindungan. Bekhof mendefinisikan Perlindungan ini sebagai karya Allah yang terus berlangsung, yang dengannya Allah mempertahankan segala yang telah Ia ciptakan, bersamaan dengan kekuatan dan sifat-sifat yang telah dicurahkanNYA kepada mereka .
Dari definisi di atas, ada beberapa ide yang dimunculkan, yaitu tentang: perlindungan, mempertahankan, menyediakan, dan intervensi Allah. Di dalam perlindungan yang Allah berikan merupakan suatu tindakan yang nyata dalam mempertahankan ciptaanNYA, sehingga Ia menyediakan apa yang menjadi keperluan, dan intervensiNYA belangsung setiap saat, setiap detik, setiap waktu. Dengan demikian menolak pandangan bahwa Allah hanya datang setelah mendengar doa umat manusia. dimana ide-ide tersebut di atas, sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan yang Allah miliki, yang Allah lakukan sesuai dengan kedaulatanNYA.
b.    Concurrence (Kerjasama)
Penggunaan istilah Concurrence dibedakan dari cooperation, hal ini dikarenakan adanya penyempitan makna yang terkandung dalam cooperation. Cooperation mampunyai arti adanya suatu prosentase kerja, atau pembagian hasil kerja, sehingga mengaburkan pandangan bahwa ada Allah (kausa pertama) yang bekerja dibalik semuanya (kausa kedua). Sedangkan concurrence merupakan usaha yang saling menyepakati di antara kausa pertama dan kausa kedua.
Kerjasama Ilahi merupakan kegiatan Allah dengan semua ciptaanNYA, dimana Ia menemani atau bersama-sama ciptaanNYA dalam setiap hal yang dilakukan ciptaan . Dalam kerjasama ini ciptaan merupakan kausa kedua (penyebab yang disebabkan), dan Allah ialah kausa pertamanya (penyebab yang tidak disebabkan), dengan demikian kausa kedua adalah semua manusia, tidak dihitung apakah ia mempunyai moral yang baik atau buruk, kausa pertama akan menggunakan kausa kedua dalam menyempurnakan tujuanNYA. Sebab apapun yang kausa kedua lakukan, ada kekuatan dari luar dirinya yang senantiasa menguatkan, dan mengarahkan, ialah kausa pertama, Allah. Dengan demikian Allah tetap merupakan yang empunya rencana dalam dunia ini, namun bukan berarti bahwa kausa kedua hanya berdiam diri, dan menunggu Allah sebagai keusa pertama bekerja. Penjelasan ini jauh dari pengertian bahwa manusia sebagai kausa kedua sanggup mengatur Allah, sehingga dapat merusak rencana Allah, tetapi kausa kedua hanyalah merupakan suatu alat yang dipakai oleh Allah untuk tujuan yang telah disepakati sebelumnya.
Tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh manusia sebelum menjadi kausa kedua, yaitu agar menjadi orang yang percaya kepada Allah dalam lahir baru, sehingga kerjasama tersebut dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan apa yang telah Allah rencanakan.
Sedangkan kejahatan yang dilakukan oleh kausa kedua merupakan tindakan kausa kedua sendiri yang diijinkan Allah, namun tetap menjadi tanggug jawab kausa kedua. Misalnya saja dalam hal dosa, ada anggapan yang mengatakan bahwa karena Allah adalah Kausa Pertama, yang menggerakan kausa kedua, maka Allahlah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap dosa. Tetapi Teolog Reform mengakui bahwa permasalahan ini merupaka permasalah yang tidak mudah, tetapi dalam Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa manusia merupakan kausa yang tetap harus bertanggung jawab. Karena manusia itulah yang melakukan tindakan meskipun Allah yang menentukan kejadiannya .
Dengan demikian, Kerjasama ini didefinisikan sebagai kerjasama dari kekuatan Ilahi dengan semua kekuatan yang lain yang lebih rendah tingkatnya, sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan semula dari tindakan mereka,yang menyebabkan mereka bertindak dan bertindak tepat sebagaimana adanya .
c.    Government (Pemerintahan)
Pemerintahan ini didefinisikan sebagai tindakan yang terus menerus berlangsung dari Allah dimana Ia mengatur segala sesuatu secara teleologis sehingga memastikan penyelesaian tujuan ilahi . Frame juga menekankan konsep teleologis dari pemerintahan Allah ini , dimana terdapat suatu tujuan yang harus dicapai. Sama seperti sebuah kapal , dimana  kapal tersebut mempunyai arah, tujuan, dan semuanya bekerja sampai pada tujuan akhirnya. Dengan demikian mengajak orang percaya agar tetap berada dalam tujuan yang telah ditetapkanNYA, karena tujuan itu bukan hanya tujuan Allah saja, melainkan juga tujuan manusia.
Pemerintahan ini merupakan tindakan aktif Allah terhadap seluruh ciptaanNYA. Hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa Ia adalah Kausa Utama, dimana setiap ciptaanNYA akan berada di bawah kendaliNYA, dan bahwa Ia akan selalu berada di balik setiap hal yang dilakukan manusia. meskipun tindakan manusia itu seolah-olah tidak ada artinya, tidak penting, tetapi semua masih di dalam kendaliNYA, seperti halnya dengan rambut yang jatuh, tidak akan lepas dari kendali Allah (Matius 10:29-31). Dengan demikian Pengendalian ini akan menjadi pengontrol manusia dalam memyempurnakan tujuan Allah.

BAB 3 IMPLIKASI PRAKTIS
Dengan mengetahui bahwa Allah secara aktif memelihara manusia sampai hari ini, sudah seharusnya orang yang telah mengetahuinya merubah pola pikirnya terhadap karya Allah dalam pemeliharaan, dan mempunyai cara pandang sebagai hamba Allah, dan mempunyai hati sebagai hamba. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari orang percaya mempunyai orientasi hidup yang berbeda dari orientasi hidup masyarakat pada umumnya, misalnya:
a.    Teosentris
Selalu berorientasi pada kehendak Allah. Di dalam merubah cara pandang manusia, sangat cenderung untuk melakukan keinginan pribadi, dan bukan keinginan Allah. Mengetahui bahwa Allah masih bekerja sampai hari ini, dan Ia mengatur setiap hal yang terjadi, dan Ia mempunyai tujuan yang telah disepakati sebelumnya, maka untuk apa manusia tetap berpegang teguh terhadap kehendaknya sendiri. Hal ini terutama dalam hal pembuatan suatu rencana. Terkadang manusia jatuh dalam ekstrem “memaksa Allah” seturut kehendak manusia. dimana rencana tersebut memohon agar Allah dapat segera mengabulkannya, membuat Allah sebagai budak manusia, dan tidak lagi menjadi Allah yang berdaulat. Dimana sikap yang seharusnya dilakukan ialah mempercayai Allah sebagai Pembuat Rencana yang ulung, sehingga rencana tersebut bukan untuk terjadi sesuai dengan keinginan manusia, melainkan kehendak Allah sajalah yang jadi (Matius 26:42). Dengan demikian akan membuat oang percaya bergantung sepenuhya kepada Allah, dimana Ia yang mampu untuk memberikan yang terbaik bagi manusia.
Keberserahan penuh terhadap Allah juga merupakan poin yang harus menjadi bagian hidup orang percaya, tetapi bukan berarti bahwa manusia tidak melakukan sesuatupun dalam hidupnya, melainkan manusia sebagai rekan kerja Allah, senantiasa membuka hati terhadap kehendak Allah, sehingga hidup dalam melakukan kehendak Allah. Dan juga menyempurnakan maksud dan tujuan Allah sebelumnya, yaitu menjadi kemuliaan bagi nama Allah. Sebenarnya ada banyak hal lagi yang dapat ditarik pelajaran dari pengertian providensi ini, tetapi penulis hanya memberikan beberapa hal yang menurut penulis sering dilupakan oleh orang percaya.
b.    Sadar diri
Sering dari orang percaya yang tidak menyadari tentang keberadaan Allah melalui providensiaNYA. Sehingga jarang atau mungkin tidak ada ucapan syukur terhadap segala hal yang Allah berikan, dalam perlindunganNYA, penjagaanNYA, dan terutama terhadap berkat-berkat yang telah diberikanNYA. Providensi Allah ini mengajak orang percaya agar senantiasa mengucap syukur, dan merendahkan hati di hadapan Allah, sebab Allah senantiasa bersama dengan umatNYA, dan tidak membiarkan umatNYA tersebut sendirian dalam menjalani kehidupan.

BAB 4 KESIMPULAN
    Dari penjelasan di atas maka pandangan Deism, dan juga pandangan umum lainnya yang mengatakan bahwa Allah tidak lagi bekerja sampai hari ini, dan bahwa Allah telah lepas tangan dari dunia dengan jelas ditolak dalam Providensi Allah, karena tidak sesuai dengan pandangan Alkitab. Sebab Allah masih dengan kasihNYA bekerja dan menyertai manusia ataupun juga ciptaan lainnya sampai hari ini, dan sampai pada akhirnya. Dan ajakan untuk selalu mengucap syukur atas karunia Allah dalam setiap hal yang terjadi dalam hari-hari orang percaya. Dengan demikian akan menguatkan orang percaya dalam menjalani hidup ini.

DAFTAR PUSTAKA

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika – Doktrin Allah. Surabaya: Momentum, 2008.
Erickson, Millard J. Introduction Christian Doctrine. Michigan: Baker Academic, 2001.
Farley, Benjamin. Providence of God. Grand Rapids: Baker Book House, 1988.
Frame, John M. Doctrine of God. New Jersey: P&R Publishing, 2002.
Grudem, Wayne Systematic Theology –An Introduction to Biblical Doctrine. England:     Intervarsity Press, 1994.
Hodge, A.A. Outlines of Theology. Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1991.
    Intervarsity Press, 1994.
Kamus. The Oxford Dictionary and Thesaurus –American Edition. New York: Oxford     University Press, 1996.
Lumintang, Stefry I. Theologia dan Misiologia Reformed –Menuju Kepada Pemikiran Reformed     dan Menjawab Keberatan. Malang: YPPII, 2006.
Siburian, Togardo. ”Diktat Doktrin Allah”, (Bandung: STTB, 2011).