Jumat, 27 Januari 2012



KEBAJIKAN MORAL
BAB 1 PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan bermasyarakat, segala sesuatu tidak ada yang bebas dari penilaian. Segala hal yang dilakukan seseorang akan mendapat penilaian dari orang lain, demikian juga dengan orang itu, akan dinilai oleh orang lain lagi, dan seterusnya, sehingga membenarkan satu teori dimana segala sesuatu tidak bebas nilai . Tetapi yang menjadi masalah berikutnya ialah, apakah perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk? Apakah hal yang dilakukannya itu merupakan hal yang benar atau hal yang salah? Sehingga dapat diketahui bahwa orang tersebut termasuk orang yang baik, yang senantiasa berbuat hal yang baik, sehingga dapat dipercaya oleh orang lain di lingkungan sekitarnya. Pertanyaan berikutnya yang muncul ialah, pendekatan moral/ etika apakah yang dapat ditemukan dalam kehidupan keseharian di dalam teori filsafat moral/ etika? Sehingga dapat menjadi patokan bahwa nilai moral yang dilakukan merupakan hal yang baik dan benar.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di ataslah penulis akan mencoba untuk memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan teori keutamaan , dan penulis akan mencoba mengkritisi teori ini sehingga dapat menjadi satu hal yang dapat berguna dalam pelayanan sebagai hamba Tuhan ataupun yang melayani di gereja maupun bagi orang-orang percaya dalam aspek-aspek kehidupannya yang lain.

BAB 2 VIRTUS
A. Sejarah singkat
Honor et Virtus post Mortem Floret
Setelah mengalami pasang surut, pada akhirnya teori ini muncul kembali sebagai suatu kebutuhan dari masyarakat dalam kehidupan masa kini. Dimana timbulnya rasa perlu untuk kembali menghidupkan kembali apa yang pernah menjadi tolak ukur manusia dalam melakukan perbuatan baik. Adapun sejarah singkat dari Teori Virtus itu ialah sebagai berikut; Teori ini diteriakan untuk pertama kalinya oleh Aristoteles, dimana adanya suatu kerinduan dalam dirinya untuk mencari jawaban dari pertanyaan, “apakah kebaikan manusia itu?” dan didapati sebuah jawaban yang mengatakan bahwa “kebaikan manusia merupakan aktifitas jiwa dalam hubungannya dengan keutamaan atau virtus”, atau dengan kata lain, “mau menjadi orang yang seperti apakan saya?”, yang kemudian menjadi acuan dari pemikiran Sokrates, Plato, dan juga pemikir-pemikir kuno yang lainnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pertanyaan mengenai teori virtus ini menjadi berkurang, hal ini dipengaruhi adanya satu pemikiran Kristianisme yang mengatakan bahwa, “kebaikan moral bergantung pada subordinasi kehendak Allah, dan bukan lagi teori virtus”. Demikian terus menjadi pola pikir masyarakat waktu itu, sampai pada zaman Renaissance, dan memasuki pertengahan abad ke-20, muncul satu pemikiran bahwa teori keutamaan/virtus masih tetap relevan dalam zaman yang baru tersebut, hal ini dipengaruhi oleh pemikiran dari filsuf Inggris, Elizabeth Anscombe.

Pemikiran ini menjadi penggugah bagi pemikir-pemikir baru, yang sependapat, bahwa teori virtus masih dapat dipakai di zaman ini. Dari konsep berpikir yang dipertanyakan di atas, bahwa mau menjadi orang seperti apakah saya?, menjadi sebuah pola pemikiran, bahwa bukan apa yang dilakukan atau tindakan apa yang dilakukan, tetapi lebih dari itu, yaitu lebih mengacu pada nilai dari kepribadian seseorang. Dimana nilai itu nyata dalam tindakannya, sehingga tindakan yang dilakukan merupakan suatu tindakan yang kontinyu, dan tidak temporary, atau pada saat-saat tertentu saja.

B. Persyaratan Virtus
Tetapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mewujudnyatakan teori ini. Syarat-syarat itu ialah:
• Adanya penjelasan mengenai definisi dari teori virtus,
• Adanya daftar tentang perbutan-perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang baik,
• Penjelasan mengenai perbuatan-perbuatan itu mengapa dapat dikategorikan sebagai perbuatan baik, • Adanya penjelasan mengapa seseorang harus memilikinya.

Dengan demikian untuk dapat melanjutkan pembahasan mengenai teori virtus, maka pertama-tama akan mendeskripsikan tentang definisi teori virtus. Seperti yang telah ditulis di atas, bahwa Aristoteleslah yang pertama kali menggemborkan teori ini, dimana ia mendefinisikannya sebagai “karakter yang nampak dalam tindakan keseharian”. Telah diketahui bahwa penekanan utama dari teori ini bukanlah lagi mengenai “apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan?”. Seperti yang dikemukakan dalam teori Utilitarianisme , atau teori-teori yang sejenisnya, tetapi teori virtus ini lebih mengacu pada pertanyaan, “mau menjadi orang yang bagaimanakah saya?” .

Bertens dalam bukunya Etika, juga mendukung pernyataan ini, bahkan lebih lagi dia mengatakan bahwa penekanan teori virtus memfokuskan pada being, dan bukan pada doing dengan demikian, teori virtus ini mengacu pada kualitas karakter personalnya dan bukan lagi pada “etika apa yang harus saya pakai?”. Berikut ini ialah beberapa kriteria yang disampaikan dalam virtus Romawi :
• Auctoritas/ kewibawaan
• Constantia/ keteguhan
• Clementia/ kelemahlembutan
• Dignitas /martabat
• Disciplina/ disiplin
• Firmitas/ ketabahan
• Frugalitas/ kecermatan
• Gravitas/ tanggungjawab
• Honestas/ kebaikan, kejujuran
• Humanitas/ kemanusiaan
• Industria/ pekerja keras
• Lustitia/ keadilan
• Pietas/ kesalehan
• Prudential/ kebijaksanaan
• Salubritas/ mempengaruhi
• Severitas/ bersahaja
• Veritas/ kebenaran
• Virtus/ berbudi luhur
• Comitas/ selera humor

Hal-hal yang telah disebut diatas bagi penulis merupakan satu kriteria yang dapat dijadikan sebagai kebaikan untuk memenuhi syarat teori virtus di atas, karena diketahui bahwa kebudayaan Romawi merupakan kebudayaan yang menarik karena sangat mengutamakan otoritas atau kewibawaannya, dengan wibawa yang dinampakkan dalam diri seorang kaisar atau juga petinggi kekaisaran. Selain itu juga adanya peninggian atau penghormatan terhadap kaisar sebagai dewa, dari hal ini dapat disimpulkan bahwa petinggi-petinggi kaisar tersebut mempunyai satu nilai yang sangat dijunjung tinggi dan kehormatan tersbut merupakan suatu hal yang sudah seharusnya disegani oleh orang banyak. Hal yang demikian juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi seorang hamba Tuhan saat ini. Sebab hamba Tuhan saat ini sedang diperhadapkan pada suau situasi yang membutuhkan kewibawaan, sikap tegas yang mulai menipis, yang harus segera diganti dengan kewibawaan seperti yang digambarkan di atas. Sedangkan alasan mengapa semua orang hendaknya dapat memiliki semua hal tersebut ialah bahwa semua manusia merupakan hamba Tuhan dalam segala kehidupan yang mereka jalani, entah mereka sadar atau tidak, mereka merupakan hamba Tuhan. Dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukannya untuk Allah, hal apapun itu. Dengan demikian dari penjelasan di atas telah menjawab pertanyaan ke-3, dan ke-4 yang menjadi syarat-syarat yang harus dipenuhi menjadi satu teori virtus yang utuh.

BAB 3 TINJAUAN KRITIS
A. Kritik Practical Wisdom
Virtus Antiqua
Dari syarat-syarat yang dipenuhi di atas merupakan satu syarat yang harus dipenuhi dalam teori ini, tetapi hal itu masih dirasa belum cukup untuk menghadapi kehidupan yang sangat kompleks di dunia ini, dengan demikian maka setiap orang dapat melakukan tindakannya dengan penuh kebijakan praktis (practical wisdom). Ada beberapa keberatan mengenai teori virtus ini, yang pertama, dengan menyadari bahwa seiring dengan perkembangan zaman, dimana manusia tidak lagi atau katakanlah tidak semua manusia dapat memakai rasionya dalam melakukan tindakannya, tetapi ada juga manusia yang memakai perasaan atau juga emosinya, maka teori virtus ini tidak dapat dilakukan secara maksimal. Keberatan yang kedua, yaitu dengan mempertimbangkan tempat, bahwa teori virtus ini tidak dapat dilakukan begitu saja atau “pukul rata” tetapi dipengaruhi oleh tempat dimana orang itu melakukan kebaikan. Sebab tempat satu dengan tempat yang lain mempunyai budaya atau aturan moralnya sendiri .

Mungkin untuk beberapa tempat dapat berlaku tetapi ditempat ain, belum tentu. Perbedaan tempat akan mempengaruhi bagaimana orang itu bertindak, sehingga teori ini tidak berlaku di semua tempat. Keberatan yang ketiga, yaitu dengan masalah value, atau nilai bahwa kebaikan semata akan membawa orang itu pada satu citra diri yang buruk karena malakukan sesuatu hal bukan pada tempatnya, sehingga akan menjatuhkan nilai diri dalam masyarakat. Dimana ia akan dipandang rendah oleh orang lain, sehingga bukan lagi wibawa yang dimunculkan tetapi sebaiknya.

B. Eudaemonia dan Phronesis Selain itu dari keberatan-keberatan di atas, orang yang melakukan teori ini juga akan menjadi truism, karena tindakan yang dilakukannya adalah suatu tindakan yang terlalu baik secara moral, terpuji, dan dikagumi oleh banyak orang,dan ada kalanya, tindakan yang dilakukan tersebut bernilai ganda, yaitu baik dan sekaligus salah. Hal ini disebabkan oleh mindset yang belum kompleks, dimana harus adanya suatu sangkaian pertimbangan yang yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan tersebut, serangkaian pertimbangan itu merupakan penggabungkan antara beberapa teori-teori etika/ moral lainnya. Misalnya :
a. Phronesis, suatu kesadaran akan kesusilaan,
b. Techne, pertimbangan terhadap seni,
c. Episteme, pertimbangan dengan menggunakan ilmu pengetahuan,
d. Nus, pertimbangan dengan pengertian asas,
e. Sophia, pertimbangan tentang kearifan,
f. Eudaimonia , tindakan yang dilandasi oleh keinginan untuk mencapai kebahagiaan.

Dengan demikian, maka penggabungan ketujuh hal di atas yang dilakukan secara bersama akan menjadikan tindakan itu bukan hanya sekedar tindakan yang “tanpa makna”, tetapi lebih pada suatu tindakan yang didasari dengan pertimbangan yang matang yang lahir dari kepribadian seseorang, bukan tindakan yang asal-asalan karena prinsip-prinsip di atas tidak dilakukan secara terpisah, melainkan secara bersamaan (integral).

Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Mudhofir, bahwa mengintegralkan antara akal, kehendak dan rasa, akan membuat si pelaku tindakan merasa senang, karena akal memberikan norma terhadap perbuatan yang tepat, dan dengan kehendak, dapat menetapkan pikiran yang baik dan dengan rasa dapat menyesuaikan antara akal dan kehendak. Pemikiran Mudhofir ini merupakan penambahan yang dapat dilakukan atau menjadi bahan pertimbangan yang lain.

BAB 4 KESIMPULAN
Untuk melakukan perbuatan yang baik bukanlah suatu tindakan yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan, tetapi ada banyak hal yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan tindakannya tersebut, sehingga tindakan yang dilakukan tersebut tidak hanya dinilai sebagai kebaikan, tetapi juga merupakan tindakan yang benar, sebab sesuatu yang baik belum tentu benar, tetapi sesuatu yang benar pasti merupakan tindakan yang baik.

Adapun pengintegralan konsep-konsep berpikirnya bukanlah datang dengan tiba-tiba atau merupakan warisan dari orang tua, tetapi lebih pada proses pembelajaran yang terus menerus, tanpa lelah, yang juga tidak dipelajari seorang diri, tetapi pembelajaran yang membutuhkan pendamping atau pembimbing, yang senantiasa mengoreksi dan memerikan arahan yang jelas, sehingga membentuk suatu kepribadian yang benar-benar matang.

Dengan demikian pembentukan yang dilakukan bukanlah dalam waktu yang singkat, tetapi sangat membutuhkan waktu yang panjang. Yang pada akhirnya tindakan tersebut bukanlah tindakan “luar” seseorang, tetapi merupakan tindakan yang murni datang dari dalam jiwanya, sehingga orang tersebut benar-benar mempunyai kepribadian yang utuh, antara jiwa dan tindakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Cohen, Christiady “Diktat Etika Kristen dan Filsafat Moral”, (Bandung: STTB, 2011).
Cohen, Christiady. “Diktat Pengantar Filsafat”, (Bandung:STTB, 2010).
Frankena, William K. Ethics -Second Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc, 1973).
Rachels, James. Filsafat Moral, (Jogja: Kanisius, 2009).
Robinson, Dave & Chris Garrant, Introducing Ethics, (Victoria: McPherson’s Printing Group, 1996). Tulluan, Olla. Ph.D, Introduksi Perjanjian Baru, (Malang:YPPII, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukan komentar anda di sini...